Entri Populer

Jumat, 13 Januari 2012

MEMBANGUN PSIKOLOGI PENDIDIKAN MATEMATIKA

Abstrak
Psikologi Pendidikan Matematika dibangun atas dasar gejala jiwa yang terjadi pada siswa. Setiap siswa mempunyai dunia pendidikan Matematikanya masing – masing sehingga guru harus mampu membangun dunia Psikologi pendidikan Matematika untuk melingkupinya. Psikologi pendidikan matematika adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku siswa dalam situasi pendidikan khususnya matematika. Gelaja jiwa yang terjadi pada siswa dapat diselaraskan dengan teori – teori yang ada seperti teori John Dewey, Jerome Brunner, Jean Peaget, Ebutt and Straker dll. Selain itu gejala jiwa juga selaras dengan pengalaman dan konteks belajar siswa. Setiap siswa memiliki gejala jiwa yang berbeda – beda sehingga gejala jiwa inilah yang perlu diidentifikasi agar guru mampu membangun Psikologi Pendidikan Matematika.
A.   Pendahuluan
Psikologi berasal dari kata Yunani psyche = jiwa dan logos  = ilmu, sehingga psikologi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari gejala-gejala kejiwaan berupa gejala jiwa manusia. Psikologi pendidikan merupakan bagian dari psikologi yang mempelajari tentang gejala jiwa manusia dalam situasi pendidikan. Dalam situasi pendidikan maka dapat diketahui bahwa objek dari psikologi pendidikan adalah gejala jiwa yang terjadi pada manusia.
Matematika dalam pandangan banyak orang masih dianggap tidak lebih dari sekedar berhitung dan bermain dengan rumus serta angka – angka yang bisa membuat siswa merasa kesulitan. Padahal dalam pendidikan formal sedari mulai dari jenjang TK, SD, SMP sampai SMA memiliki kurikulum yang memuat Matematika. Sebagian besar siswa merasa Matematika merupakan pelajaran yang menakutkan sehingga banyak siswa yang tidak menyukainya. Dalam konteks ini maka diperlukan psikologi. Psikologi yang dibutuhkan dalam konteks ini adalah psikologi pendidikan matematika. Psikologi pendidikan matematika adalah ilmu yang mempelajari gejala jiwa siswa khususnya dalam pembelajaran matematika.
Anggapan yang bermacam – macam mengenai matematika memunculkan banyak gejala jiwa pada diri masing – masing siswa. Gejala jiwa inilah yang perlu diidentifikasi agar guru mampu membangun Psikologi Pendidikan Matematika.
B.   Pembahasan
          1.    Identifikasi Gejala Jiwa
Matematika berfungsi untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bilangan dan simbol-simbol serta ketajaman penalaran yang dapat membantu memperjelas dan menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi banyak yang belum mengetahui tentang betapa pentingnya matematika dalam kehidupan sehari – hari sehingga banyak orang yang tidak suka dengan matematika. Siswa mempunyai tanggapan yang berbeda – beda saat menghadapi matematika. Inilah yang disebut gejala jiwa.
Gejala jiwa berupa tingkah laku dan proses mental manusia, baik yang tampak maupun yang tidak tampak, baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Banyak gejala jiwa yang terjadi saat jiwa belajar Matematika. Gejala jiwa pada siswa dibedakan menjadi :
 a.     Gejala pengenalan (kognisi)
Suatu proses atau upaya siswa dalam mengenal berbagai macam stimulus atau informasi yang masuk ke dalam alat indranya, menyimpan, menghubung – hubungkan, menganalisis, dan memecahkan masalah berdasarkan stimulus atau informasi tersebut.
Gejala pengenalan pada siswa belajar Matematika :
-       Siswa terkadang mengalami kesulitan dalam mengerjakan sebuah soal dikarenakan dia tidak mampu memahami soal tersebut.
-       Siswa tidak mampu melihat apa yang ditulis guru dikarenakan tulisannya yang terlalu kecil, atau alat penglihatannya mengalami gangguan dan dia tidak mau duduk didepan karena takut.
-       Materi geometri membutuhkan alat peraga, tetapi jika tidak ada alat peraga maka siswa akan sulit membayangkan bangun apa yang dibicarakan guru karena guru belum pernah memperlihatkan bentuk geometri itu secara nyata.
-       Siswa lupa rumus saat sedang mengerjakan soal ujian.
-       dll
b.     Gejala perasaan (afeksi)
Kemampuan untuk merasakan suatu stimulus yang kita terima, termasuk didalamnya adalah perasaan sedih, senang, bosan, marah, benci, cinta dan lain sebagainya.
Gejala perasaan pada siswa belajar Matematika :
-       Siswa merasa senang ketika dia mampu mengerjakan soal Matematika dengan benar.
-       Siswa sedih saat dia tidak mampu menyelesaikan soal Matematika dengan baik, ketika guru tidak adil pada seluruh siswa yang berada dikelas.
-       Siswa bosan ketika beberapa hal yaitu gurunya hanya mengajar dengan metode ceramah, guru ketika mengajar hanya duduk didepan, selalu belajar hanya di dalam kelas, dan sebagainya.
-       Siswa tidak suka Matematika karena tidak tahu untuk apa mempelajari Matematika dan tidak tahu apa yang dia pelajari karena guru tidak pernah menggunakan alat peraga sehingga dia tidak mengetahui apa yang dia pelajari.
-       dll
c.     Gejala Kehendak (Konasi)
Gejala ini berkaitan dengan kehendak atau motif sesorang atau suatu dorongan yang menyebabkan perilaku tertentu.
Gejala Kehendak pada siswa belajar Matematika :
-       Siswa ingin belajar Matematika karena gurunya mampu memotivasi siswanya.
-       dll
d.     Gejala Gabungan (Psikomotorik)
Gejala ini merupakan gabungan dari gejala kognitif dan afektif, yang memunculkan suatu gerakan/tingkah laku tertentu.
-       Siswa sedang belajar, maka dia sedang mengunakan matanya untuk membaca, sambil mencoba memahami maksud dari kata – kata materi tersebut.
-       dll
Gejala jiwa yang terjadi pada siswa diakibatkan karena faktor dari dalam atau faktor dari luar siswa. Faktor dari dalam dapat berupa motivasi untuk belajar Matematika, kesulitan dalam belajar Matematika, dll. Faktor dari luar dapat berupa metode guru mengajar, teman sepermainan, dll.
          2.   Gejala Jiwa Dengan Diselaraskan Dengan Teori/Referensi
Banyak teori yang berkaitan dengan gejala jiwa belajar siswa khususnya belajar Matematika.
a)    John Dewey
Teori John Dewey adalah salah satu teori yang membahas tentang pendekatan pembelajaran kontekstual. Pendekatan ini merupakan konsep belajar yang mengkaitkan materi yang dipelajari dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya. Dengan konsep ini, hasil pembelajaran Matematika diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran Matematika pun bisa berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Misalnya, dalam pembelajaran berhitung, siswa diminta pergi ke pasar dan diminta menghitung hasil dari apa yang dia belajakan. Jadi siswa belajar dua hal sekaligus yaitu belajar bersosialisasi dan belajar Matematika.
Dalam pembelajaran dengan pendekatan kontekstual siswa mengkonstruksikan pengetahuan di benak siswa sendiri. Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proporsi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan. Dalam konteks itu, siswa perlu mengerti apa makna belajar Matematika dan apa manfaatnya. Siswa perlu menyadari bahwa yang mereka pelajari berguna bagi hidupnya nanti. Dengan demikian siswa memposisikan sebagai diri sendiri yang memerlukan suatu bekal untuk hidupnya nanti.
b)    Jean Peaget
Ahli teori belajar yang sangat berpengaruh adalah Jean Peaget. Dia adalah ahli psikologi bangsa Swiss yang meyakini bahwa perkembangan mental setiap pribadi melewati empat tahap yaitu:
1)     Tahap sensorimotorik (0-2 tahun) pada tahap ini anak-anak mengembangkan konsep pada dasarnya melalui interaksi dengan dunia fiksi
2)    Tahap praoperasional (2-7 tahun). Pada tahap ini anak sudah mulai untuk menyatakan ide, tetapi ide tersebut masih sangat tergantung pada persepsi. Pada tahap ini anak telah mulai menggunakan simbol, anak dapat mulai belajar mengenali angka dan istilah yang mewakilinya.
3)    Tahap operasi kongkret (7-12 tahun) selama tahap ini anak mengembangkan konsep Matematika dengan menggunakan  benda-benda kongkret untuk menyelidiki hubungan dan model-model ide abstrak bahasa merupakan alat yang sangat penting untuk menyatakan dan mengingat konsep-konsep. Pada tahap ini anak sudah mulai berpikir logis, berpikir logis ini terjadi sebagai akibat adanya kegiatan anak memanipulasikan benda-benda kongkret.
4)    Tahap operasi formal (12 dewasa) anak sudah mulai mampu berpikir secara abstrak, dia dapat menyusun hipotesis dari hal-hal yang abstrak menjadi dunia real dan tidak terlalu bergantung pada benda-benda kongkret.
Piaget menekankan bahwa proses belajar merupakan suatu asimilasi dan akomodasi informasi ke dalam struktur mental. Asimilasi adalah proses terpadunya informasi dan pengalaman baru ke dalam struktur mental. Akomodasi adalah perubahan pikiran sebagai suatu akibat adanya informasi dan pengalaman baru, mereka secara aktif mencoba. Sebagai contoh dalam operasi penjumlahan, anak memahami 5 + 3 = 8 dengan memanipulasi benda-benda kongkret yang telah dia kenal.
c)    Teori Belajar Jerome S. Bruner
Jerome S. Bruner adalah seorang ahli psikologi kognitif, seperti halnya Jean Piaget, Menurut Jerome S. Bruner metode belajar merupakan faktor yang menentukan dalam pembelajaran di bandingkan dengan pemerolehan suatu kemampuan khusus. Metode yang sangat didukung oleh Bruner, penemuan melibatkan kegiatan mengorganisasikan kembali materi pelajaran yang telah dikuasai oleh seorang siswa. Kegiatan ini berguna bagi siswa tersebut untuk menemukan suatu pola atau ‘keteraturan’ yang bersifat umum terhadap situasi atau masalah baru yang sedang dihadapinya. Jerome S. Bruner yakin bahwa dalam mempelajari Matematika seorang anak perlu secara langsung bahan-bahan manipulatif. Bahan-bahan manipulatif merupakan benda kongkret yang dirancang khusus dan dapat diotak atik siswa dalam berusaha untuk memahami suatu konsep Matematika.
d)    Ebutt and Straker
Ebbutt dan Straker mendefinisikan hakikat Matematika sekolah, sebagai berikut :
1.     Matematika sebagai kegiatan penelusuran pola dan hubungan
2.     Matematika sebagai kreativitas yang memerlukan imajinasi, intuisi dan penemuan
3.     Matematika sebagai kegiatan pemecahan masalah (problem solving)
4.     Matematika sebagai alat berkomunikasi
Definisi hakikat Matematika sekolah diperlukan karena fakta menunjukkan bahwa para siswa mengalami kesulitan belajar Matematika. Maka perlu kiranya untuk membedakan antara Matematika dan Matematika sekolah. Agar pembelajaran Matematika dapat memenuhi tuntutan inovasi pendidikan pada umumnya,
Ebbutt dan Straker (1995: 60-75), memberikan pandangannya bahwa agar potensi siswa dapat dikembangkan secara optimal, asumsi tentang karakteristik subjek didik dan implikasi terhadap pembelajaran Matematika diberikan sebagai berikut :
a.     Murid akan mempelajari Matematika jika mereka mempunyai motivasi
b.     Murid mempelajari Matematika dengan caranya sendiri
c.     Murid mempelajari Matematika baik secara mandiri maupun melalui kerja sama
d.     Murid memerlukan konteks dan situasi yang berbeda-beda dalam mempelajari Matematika
           3.   Gejala Jiwa Dengan Diselaraskan Dengan Pengalaman Dan Konteks Belajar
Siswa belajar Matematika tidak dapat lepas dari pengalaman. Dengan pengalaman dia mampu mengembangkan apa yang telah dia peroleh. Pengalaman siswa dibangun dari apa yang terjadi baik di dalam kelas maupun di dalam kelas. Pengalaman didukung dengan adanya objek baik tak langsung maupun langsung yang bersifat kontekstual.
Ketika seorang siswa terjun langsung kelapangan untuk menerapkan apa yang dia peroleh maka dia akan mendapatkan pengalaman. Pengalaman itu dapat dia pakai dalam kehidupan sehari – hari.
Pengalaman juga berpengaruh pada konteks belajar siswa. Konteks belajar siswa dapat dinilai dengan melakukan tes. Apabila nilainya bagus maka metode belajarnya bisa dibilang sukses, jika tidak maka dia perlu mencara metode belajar yang lain yang lebih cocok untuknya sehingga dia bisa menunjukkan hasil yang maksimal dalam tes.
Mengerjakan soal itu pun akan menjadi sebuah pengalaman. Misalnya ketika ada soal yang sulit, lalu dia mengerjakan sampai berhasil, maka otaknya akan merekam hal itu sehingga dikala ujian dia menemukan soal yang sama, dia sudah bisa mengerjakannya dan soal itu akan terasa lebih mudah karena dia berpengalaman dalam mengerjakan soal seperti itu.
Pengalaman itu sangat berguna untuk mengatasi berbagai masalah. Gejala jiwa yang dirasakan siswa itu pun termasuk pengalaman karena itu bermakna bagi siswa dan akan lebih bermakna lagi jika dia dapat terjun langsung ke masyarakat untuk dapat menerapkan. Misalnya, mengenai sistem persamaan linear. Suatu hari dia membeli 5 buku dan 3 pensil seharga Rp 23.000, di hari lain di membeli 3 buku dan 2 pensil seharga Rp 12.000. Disekolah dia telah mempelajari SPL, maka dengan metode eliminasi atau substitusi dia bisa mengetahui harga buku dan pensil.
           4.   Membangun Psikologi Pendidikan Matematika
Sangat tidak mudah seorang guru membangun psikologi pendidikan Matematika karena seorang harus memahami bagaimana karakteristik siswanya. Membangun psikologi pendidikan Matematika adalah salah satu langkah penting agar dapat memahami dunia siswa belajar Matematika. Psikologi pendidikan Matematika akan mampu memahami gejala - gejala siswa ketika belajar Matematika.
Setiap siswa mempunyai dunianya masing – masing. Dunia Pendidikan Matematikanya masing – masing yang membuat mereka berbeda satu sama lain. Hendaknya sebagai seorang guru, mampu memahami mereka satu per satu dan membagi perhatiannya kepada semua sama rata.

C.   KESIMPULAN
Sangat tidak mudah seorang guru membangun psikologi pendidikan Matematika karena seorang harus memahami bagaimana karakteristik siswanya. Psikologi Pendidikan Matematika dibangun atas dasar gejala jiwa yang terjadi pada siswa. Setiap siswa mempunyai dunia pendidikan Matematikanya masing – masing sehingga guru harus mampu membangun dunia Psikologi pendidikan Matematika untuk melingkupinya. Psikologi pendidikan matematika adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku siswa dalam situasi pendidikan khususnya matematika.

Referensi :
Marsigit. Anggapan yang bermacam – macam mengenai matematika memunculkan banyak gejala jiwa pada diri masing – masing siswa. Gejala jiwa inilah yang perlu diidentifikasi agar guru mampu membangun Psikologi Pendidikan Matematika.